Skip to main content

SHOFIYA LAILA ; MAKALAH IDEOPOLSTRATAK LK II HMI



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia memiliki kecenderungan untuk memimpin, karena mereka diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di bumi. Untuk dapat mendapatkan posisi sebagai khalifah, maka diperlukan pengetahuan serta penerapan usaha dalam meraihnya. Karena pada hakikatnya, kekuasaan tidak dapat datang dengan sendirinya, melainkan  harus ada usaha dalam memperebutkannya. Termasuk wilayah pengetahuan yang akan bersama-sama kita kaji untuk meraih kekuasaan tersebut adalah; ideologi, politik serta strategi dan taktik. Sebelum lebih jauh bahasan yang akan kita kaji, penulis akan menggaris bawahi satu pernyatan, pengetahuan politik praktis berbeda dengan politik praktis. Yang akan kita kaji adalah sebagai pengetahuan kita mengenai politik, bukan supaya kita tahu serta akan mempraktekan politik praktis. Sebab HMI adalah organisasi mahasiswa, bukan partai politik atau kelompok yang memiliki kepentingan secara mutlak demi kekuasan.
Sebagai media dalam mencapai tujuan, politik bukan lagi merupakan istilah yang asing atau bahkan tabu bagi kalangan mahasiswa. Namun hal penting yang harus difahami terkait dalam perjuangan politik adalah landasan gerak (epistemologi, pandangan dunia dan ideologi), manusianya (kader), serta strategi dan taktik. Beberapa hal penting itulah yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini.
Penulis berpikir kita semua pernah mendengar dan menyaksikan bagaimana setiap individu maupun kelompok berusaha mencapai tujuan serta cita-cita politiknya melalui perjuangan politik. Namun tidak sedikit kita temui beberapa kecelakaan yang terjadi di dalamnya, baik dalam proses perjuangan politik itu sendiri maupun hasil-hasil yang dicapai dari perjuangan politik tersebut. Tentu saja terdapat beberapa alasan mendasar mengapa hal tersebut bisa terjadi. Alasan mendasar tersebut tidak lain adalah syarat ideal dari perjuangan politik itu sendiri, bahwa perjuangan politik setidaknya memiliki beberapa kandungan signifikan yang menjadi landasan bagi “gerakan” yang akan dilakukan, yaitu;
1.  Iman atau keyakinan yang teguh
2.  Ilmu yang cukup
3.  Ideologi yang jelas
4.  Organisasi yang baik, rapi dan disiplin
5.  Strategi dan taktik yang tepat, serta
6.  Kemampuan teknis dan teknologis yang memadai.

Salah satu strategi politik yang patut untuk diteladani adalah strategi politik Nabi Muhammad, sebagai sang revolusioner sejati. Banyak hal yang perlu kita contoh dari perjuangan politik Nabi Muhammad yang meniti karir politik mulai dari nol hingga dapat mencapai titik kejayaan. Beberapa hal tersebut di atas yang akan bersama-sama kita fahami. Mengingat pentingnya bekal bagi seorang kader HMI dalam melaksanakan perjuangan politiknya kelak. Sebab proses dalam perkaderan serta perjuangan untuk mewujudkan cita-cita profetik belumlah cukup hanya dilakukan dalam ruang sempit HMI. Suatu saat nanti seorang kader HMI akan mengabdikan dirinya setelah kepurnaan dia di HMI.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ideopolitorstratak?
2.      Bagaimana hubungan taktik dengan strategi?
3.      Bagaimana peran stratak sebagai alat perjuangan?
4.       Bagaimana strategi politik Nabi Muhammad?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian ideoolitorstratak
2.      Untuk mengetahui hubungan antara taktik dan strategi
3.      Untuk dapat mengetahui peran stratak sebagai alat perjuangan organisasi
4.      Untuk mengetahui strategi politik Nabi Muhammad.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian ideopolitor-stratak
1.      Ideologi

                  Ideologi berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata, yakni ideo artinya pemikiran dan logis yang artinya logika, ilmu, atau pengetahuan. Jadi, dapatlah didefinisikan ideologi merupakan ilmu mengenai keyakinan dan cita-cita.
                  Ideologi merupakan kata ajaib yang menciptakan pemikiran dan semangat hidup di antara manusia terutama kaum muda, khususnya di antara cendekiawan atau intelektual dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ideologi merupakan rumusan alam pikiran yang terdapat di berbagai subjek atau kelompok masyarakat yang ada, dijadikan dasar untuk direalisasikannya.[1]
Ideologi meyangkut cita-cita bersama, yang ingin ditegakkan menjadi kenyataan, dan selanjutnya dipertahankan. Ia bisa timbul dari perseorangan, kelompok masyarakat, yang bila berkembang bisa didukung oleh golongan dari masyarakat secara banyak. Pada mulanya, cita-cita itu diperjuangkan oleh kelompok yang jumlahnya kecil, tetapi kemudian membesar.[2]
Ideologi secara lebih luas dikemukakan oleh sejumlah pemikir, ilmuwan, maupun tokoh pergerakan politik. Alfian, seorang ilmuan politik di Indonesia mengemukakan bahwa ideologi adalah pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat.[3]
Ciri dari suatu ideologi adalah cita-cita yang dalam dan luas dan bersifat jangka panjang. Ia dirasakan milik dari suatu kelompok manusia yang dapat mengidentifikasikan dirinya dengan ajaran tersebut. Ia juga mengikat kelompok, sering pula membenarkan dan mempertahankan sikap perbuatan kelompok.
Pada wilayah ideologi, tauhid jelas haruslah menjadi dasar utamanya (sumber). Bagaimana pemahaman kader maupun manusia secara umum tentang tauhid menjadi dasar dari epistemologinya. Sehingga dengan pengetahuan yang bersumber dari tauhid tersebut akan dapat menghasilkan pandangan dunia yang objektif. Selanjutnya pandangan dunia atau cara memahami realitas tersebut yang nantinya sebagai perangkat ideologi. Jika lebih disederhanakan lagi, ideologi sangatlah penting dalam perjuangan politik, sebab ideologi sebagai landasan setiap gerak yang akan diaktualisasikan.
Ideologi bagi pengikutnya memiliki fungsi positif, yaitu :
1.      Memberikan legitimasi dan rasionalisasi terhadap perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat
2.      Sebagai dasar atau acuan pokok bagi solidaritas social dalam kehidupan kelompok atau masyarakat
3.      Memberikan motivasi bagi para individu mengenai pola-pola tindakan yang pasti dan harus dilakukan.[4]

2.      Politik
Politik berasal dari Bahasa Inggris, yaitu polite yang berarti having or showing good manner.[5]maksudnya adalah mempunyai atau menunjukkan kelakuan yang baik atau dengan kata lain dapat diartikan dengan arti sopan. Kemudian term tersebut berkembang menjadi politic yang berarti sensible atau wise. Jika dilihat dari akar kata politik yaitu polite , dapat disimpulkan bahwa aspek penting yang harus dimiliki oleh seorang politikus adalah adanya moral yang baik, sebagai suatu upaya untuk membangun citra serta dapat menjadi uswah hasanah bagi yang dipimpin.
Politik secara sederhana dapat kita artikan sebagai suatu media untuk mencapai maksud atau tujuan. Politik merupakan pengetahuan terapan, di mana dengan pengetahuan politik maksud serta tujuan yang akan dicapai dapat diperjuangkan melalui perjuangan politik dengan menggunakan ilmu pengetahuan politik. Tentu saja di dalam politik tersebut masih membutuhkan banyak pengetahuan terapan yang lain, yaitu strategi dan taktik.
Pada masa Yunani kuno, politik mencakup semua soal yang berkaitan dengan masyarakat, termasuk pendidikan dan agama. Dengan terpilahnya bidang-bidang kehidupan ini di Barat, terutama dengan tumbuhnya pemikiran tentang Negara sekuler di satu pihak dan Negara agama di pihak lain, politik yang menguasai kehidupan di Barat terpisah dari soal dan ajaran agama. Perkembangan ini diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terpisah dari agama. Sebenarnya agama yang dimaksud disisni adalah agama Kristen, karena memang pertentangan antara akal dan gereja, antara raja dengan gereja. Baik raja, maupun gereja mengenai hierarki kekuasaan. Gereja dengan pendetanya, yang berpuncak pada Paus, dan raja dengan menteri dan hulubalangnya. Gereja dan raja seperti itulah yang memperebutkan kekuasaan.[6]
Di dalam Islam, sistem politik terdiri atas tiga prinsip pokok, Tauhid, Risalah dan Khilafah. Prinsip yang pertama termanifestasikan dalam pembahasan kita yang pertama mengenai ideologi. Begitu juga dengan prinsip yang ke dua, selain termanifestasikan dalam ideologi, juga termanifestasikan melalui aturan-aturan serta tuntunan-tuntunan yang membatasi kekuasan seorang khilafah. Sedangkan sebagai khilafah, setidaknya manusia memiliki beberapa syarat sebagai berikut:
1.  Pemilik dari bumi sepenuhnya adalah tetap Tuhan, bukan wakil-Nya yang bertugas mengelola.
2.  Pengelola itu akan mengelola milik Tuhan sesuai dengan instruksi-instruksinya (pemahaman kita terhadap tauhid yang termanifestasikan sebagai ideologi).
3.  Pengelola milik Tuhan akan akan melaksanakan kekuasannya dalam batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan atas dirinya.
4.  Dalam mengelola itu, ia akan melaksanakan melaksanakan kehendak Tuhan, bukan kehendaknya sendiri (kemerdekaan individu, keharusan universal dan tetap bertitik tolak dari Tauhid).
Secara singkat politik adalah untuk kekuasaan, sebab hanya dengan kekuasanlah tujuan dapat terwujud. Namun dengan kekuasan yang telah didapatkan nantinya, kekuasan tersebut tetap harus dijalankan berdasarkan atas ideologi yang sudah dipilihnya. Dalam kaitanya dengan ini, politik tidak terlepas dari 4 hal; order (susunan/pembagian, perintah), virtue (kebajikan), freedom (kebebasan atau kemerdekaan) dan happiness/welfare (kebahagiaan dan kesejahteraan). Kekuasaan yang diperoleh melalui politik haruslah dapat mewujudkan empat hal tersebut di atas, jika tidak maka kekuasaan yang ada bertentangan dengan fithrah dan tujuan kekuasaan yang murni, tentu saja jalan yang dilalui oleh perjuangan politik adalah tidak benar, sebab akibatnya pun tak selaras dengan tujuan idealnya.
“Ilmu tanpa amal adalah dosa, demikian pula amal tanpa ilmu.”

Pernyataan tersebut adalah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, jika kita kaitkan dengan perjuangan politik, maka politik adalah merupakan sebuah amal, jika tidak disertai dengan ilmu maka akan sia-sia. Dalam sebuah perjuangan politik, strategi dan taktik adalah ilmunya, selain landasan tauhid sebagai dasar ideologi dan juga pengetahuan mengenai ilmu politik itu sendiri.

4.      Strategi dan Taktik
            Mengambil istilah “sebuah peperangan”, strategi adalah memanfaatkan pertempuran untuk mengakhiri peperangan. Sedangkan taktik adalah penggunaan kekuatan untuk memenangkan suatu pertempuran. Dalam pandangan HMI, seperti yang diungkapkan oleh Dahlan Ranuwiharjo sebagai tokoh pendidik politik di HMI bahwa strategi adalah Bagaimana menggunakan peristiwa-peristiwa politik dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai rencana perjuangan, sedangkan taktik adalah bagaiman menentukan sikap atau menggunakan kekuatan dalam menghadapi peristiwa politik tertentu pada saat tertentu.

B.     Hubungan Taktik dengan Strategi
Taktik merupakan bagian dari strategi. Maka dalam hal ini, taktik harus tunduk kepada strategi yang ada. Berikut adalah prinsip-prinsip taktik dan strategi :
a.       Jika semua taktik berhasil maka strateginya berhasil.
b.       Jika Semua taktik gagal maka strateginya gagal.
c.       Jika salah satu taktik gagal, maka strategi masih bias berhasil dengan syarat taktik yang lainnya berhasil, dan bersifat strategis.
d.      Jika sebagian taktik berhasil namun sebagian taktik strategis yang lain gagal, maka stratgi gagal.
Taktik  adalah kegiatan dari strategi. Taktik karenanya harus tunduk dan mengabdi kepada strategi. Rencana perjuangan (strategi) meliputi perjuangan secara menyeluruh baik dalam hubungan nasional, internasional dan daerah/lokal, maupun mengenai semua segi penghidupan dan kehidupan masyarakat atau negara, ekonomi, hankam, pendidikan, dan lain-lain.
Mula-mula kita berideologi yang merupakan tujuan perjuangan. Lalu kekuatan disusun dalam organisasi, organisasi bergerak dalam arena politik, karenanya harus selalu diikuti perkembangan politik. Karena politik mempunyai hukum-hukum sendiri, maka cara berpikir harus  politis, tidak normatif dan tidak yuridis formal. Setelah secara berpikir politis kita menanggapi setiap persoalan politik, maka disusunlah garis strategis untuk jangka waktu tertentu dan di tentukanlah langkah-langkah taktis untuk setiap persoalan politik tertentu pada saat tertentu.
            Berpolitik tanpa ideologi adalah opportunisme, berpolitik tanpa organisasi disebut avonturisme, sedangkan  berpolitik tanpa stratak adalah  nekat. Adapun oportunisme, avonturisme, dan sikap nekat adalah sikap-sikap yang berbahaya bagi kepentingan perjuangan.
Dalam menyusun suatu strategi untuk mencapai tujuan tertentu ada beberapa hal mendasar yang perlu diperhatikan, diantaranya:
1.      Menetapkan sasaran yang hendak dicapai oleh organisasi dalam jangka waktu tertentu. Sasaran disesuaikan dengan kemampuan oranisasi.
2.      Jangka waktu ditentukan sebagai jangka waktu sekarang (jangka pendek) dan jangka waktu beberapa tahun ke depan (jangka panjang).
3.      Harus terdapat rencana atau strategi alternatif.
4.      Harus dapat menambah kekuatan serta memperkuat posisi.
5.      Harus mampu membentuk opini publik (subyektivitas menjadi objektivitas)

Taktik merupakan bagian dari strategi, berikut adalah beberapa dasar dalam membentuk sebuah taktik:
1.      Fleksibilitas
            Yaitu sikap dan langkah yang dapat berubah sesuai dengan kondisi yang terjadi.
2.      Orientatif, evaluative dan estimatif.
3.      Perjuangan politik tidak mampu melihat hasil atau keberhasilan yang dicapai nanti, sebab hal tersebut belum terjadi. Namun dengan menentukan langkah, mengira-ngira (mengorientasikan) serta mengevaluasi keadaan dan kemungkinan yang akan terjadi, disertai dengan memperhitungkan beberapa hal maka kita akan dapat melihat bayangan aka nada dan tidaknya kesempatan untuk berhasil.
4.      Kerahasian
Strategi harus dirahasiakan, biarlah lawan meraba apa langkah perjuangan yang akan kita lalui.
5.      Gerak tipu/mengelabuhi.
6.      Lima S; (Sasaran, Sarana, Sandaran, Sistem, Saat).
7.      Perpaduan antara Kondisi Objektif dan Kondisi Objektif, kondisi subjektif mematangkan kondisi objektif, begitu juga sebaliknya. Antara kedua kondisi ini memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.
Stratak mempunyai hukum-hukum, yaitu :
1.      Kuantitas.
Jumlah yang besar akan mengalahkan jumlah yang kecil. Pihak yang berjumlah kecil tidak  boleh menyerang musuh yang berjumlah besar. Jika musuh yang berjumlah besar menyerang pihak yang berjumlah kecil hendaknya menyingkir. Musuh yang berjumlah besar tidak dapat dihancurkan sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit dan secara terus menerus.
2.      Perpaduan antara kualitas dan kuantitas.
Kurang dalam kuantitas harus diimbangi dengan kelebihan dalam kualitas. Kurang dalam kualitas harus diimbangi dengan kelebihan kuantitas.
3.      Posisi.
Posisi yang baik adalah separuh kekuatan. Posisi yang tidak baik memerlukan dua kali kekuatan.
4.      Cadangan.
Pihak yang mempunyai cadangan, walaupun telah mundur dan kalah akan dapat maju kembali. Jika musuh sedang kalah dan mundur, kejarlah. Hancurkan cadangan musuh sebelum musuh maju dan bangkit kembali dengan cadangannya.
5.      Kawan, Sekutu dan Lawan.
Secara ideologis, kawan adalah yang seideologi. Secara strategis sekutu harus selalu diperbanyak dan pihak-pihak lawan harus dikurangi. Musuh nomor satu adalah golongan terbesar yang ideologinya membahayakan kehidupan ideologi sendiri. Sekutu dan musuh nomor satu adalah lawan. Lawan dan sekutu nomor satu adalah musuh. Antara sekutu dan musuh terdapat golongan-golongan yang bukan musuh dan bukan sekutu. Golongan ini pada suatu saat dapat menjadi musuh, pada saat lain menjadi sekutu dan pada satu ketika dapat pula sekaligus menjadi sekutu dan musuh.
6.      “Divide et impera”. Pecah belah musuh dan hancurkan dulu yang besar.
7.      Menyerang
Menyerang adalah pertahanan yang terbaik,yang menang ialah yang selalu memegang inisiatif. Biarkan lawan bergerak menurut inisiatif kita pada saat dan tempat kita pilih. Biarkan lawan beraksi terus terhadap isu-isu yang kita lontarkan. Tujuan membenarkan setiap cara sepanjang tidak bertentangan dengan kekuatan ideologi serta tidak membawa akibat yang dapat merugikan sendiri.

C.    Peran stratak sebagai alat perjuangan organisasi
            Stratak adalah cara digunakan organisasi untuk mencapai sasaran perjuangan. Garis dari setiap stratak harus disesuaikan dengan kondisi organisasi. Kesuksesan stratak akan semakin memperkuat organisasi, begitu juga sebaliknya. Semakin berkurang kekuatan organisasi, semakin tidak mampu organisasi itu melaksankan stratak yang besar, semakin kecil stratak yang dapat dilaksanakan oleh organisasi semakin jauh organisasi tersebut dari tujuan perjuangan politiknya. Stratak tidak mampu berdiri sendiri, melainkan dia hanya alat pelaksana bagi tujuan ideologi, yaitu untuk mempertahankan dan menambah kekuatan serta posisi sendiri, di samping itu juga untuk menghancurkan dan mengurangi kekuatan serta posisi lawan.
Stratak hanya boleh dipelajari oleh kader HMI yang militan dan bermental pelopor, kader yang telah memiliki kesadaran ideologi dan organisasi serta sanggup berfikir politis realistis. Seorang yang penakut, menghindari resiko dan lebih mengedepankan kepentingan pribadi dari pada kepentingan perjuangan “haram” mempelajari stratak. Stratak adalah modal untuk bergerak dengan “elegan” dan penuh perhitungan yang matang, tidak sembrono, anarkis dan nyelonong “offside” serta tidak bertindak radikal ekstrem yang ngawur dan nekad.
D.    Strategi Politik Nabi Muhammad
Bagi umat Islam, Nabi Muhammad saw adalah suri teladan dalam segala bidang kehidupan. Tidak hanya dalam masalah-masalah agama yang terkait hubungan dengan Tuhan, Sang Khalik, tetapi juga dalam persoalan-persoalan yang terkait dengan hubungan sesama makhluk. Muhammad adalah pribadi yang komplit, seorang Nabi, juru dakwah yang berhasil mengubah bangsa Arab yang politheis menjadi penganut agama Islam yang mentauhidkan Allah. Nabi Muhammad juga merupakan seorang panglima perang yang rela terjung langsung ke medan perang memimpin pasukan Muslim menghadapi musuh. Di sisi lain, ia juga adalah seorang politikus yang mampu mempersatukan bangsa Arab dari berbagai suku dan klan dalam satu komunitas baru, kaum muslimin. Sebuah prestasi yang belum pernah dicapai oleh pemimpin-pemimpin bangsa Arab sebelumnya.
Nabi Muhammad mempunyai kepribadian yang sangat ideal yang membedakannya dengan orang lain. Kepribadian yang sangat ideal ini disebabkan pada diri beliau terhimpun semua keutamaan dan beliau dilindungi oleh Allah dari segala sifat nista. Adapun karakteristik idealitas Nabi Muhammad dijelaskan oleh Al-Abrasyi, bahwa :
“Dalam hal keberaniannya beliau seperti Nabi Musa a.s, beliau penuh kasih sayang bagaikan Nabi Harun a.s, sabar seperti Nabi Ayyub a.s, pelopor seperti Nabi Daud a.s, agung bagaikan Nabi Sulaiman a.s, sederhana seperti Nabi Yahya a.s”.[7]
Bila dilihat dari segi sosiologis dan antropologis, bangsa Arab Makkah mempunyai tingkat solidaritas yang tinggi, Mereka mempunyai budaya sukuisme, yaitu adanya naluri untuk melindungi keluarga dan rakyatnya dari penganiayaan.[8] Pada awalnya, kekuasaan atas Mekkah ada di tangan dua suku, yaitu Jurhum sebagai pemegang kekuasaan politik, dan Ismail sebagai pemegang kekuasaan atas Ka’bah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai. Semenjak saat itu, suku terakhir inilah yang memegang urusan-urusan politik dan urusan yang berhubungan dengan Ka’bah. Semenjak saat itu, Quraisy menjadi suku yang mendominasi bangsa Arab.[9]
Seruan dakwah Muhammad saat di Mekah tidak langsung membuahkan hasil positif. Sebaliknya respons yang muncul dari masyarakat justru sangat menyakitkan. Kebanyakan warga dari masyarakat Quraisy saat itu membalas ajakan Rasulullah dengan intimadasi, sabotase, isolasi, dan kekerasan untuk menghalang-halangi meluasnya ajaran Islam. Namun Nabi tidak frustrasi, justru terpicu untuk berpikir keras untuk mencari alternatif lain dalam mendakwahkan Islam. Hingga sampai pada keputusan untuk memindahkan objek dakwah Islam kepada masyarakat di luar Makkah.
Keberhasilan Nabi  Muhammad  tidak diraih dengan mudah, tetapi melalui perjuangan yang sangat keras dan dilakukan secara bertahap dan sistematis. Suku Quraisy sangat menentang dan berusaha untuk menghalangi dakwah Nabi, lima faktor yang mendorong kaum Quraisy menentang seruan itu, yaitu :
1.      Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthallib
2.      Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya
3.      Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat
4.      Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang sangat berakar pada bangsa Arab
5.      Pemahat dan penjual patung memandang Islam adalah penghalang rezeki.[10]
Oleh karena itulah Nabi bersama para sahabatnya melakukan Hijrah dari Mekah ke Madinah. Hijrah merupakan babak awal kebangkitan Islam. Hijrah menandai lahirnya sebuah negara baru, nagara Madinah di mana Muhammad menjadi pemimpinnya. Dari sini kemudian Islam berhasil dipancarkan ke seantero jagad. Karena itu, model negara Madinah menjadi inspirasi dan ilham untuk mencari bentuk pengelolaan kehidupan modern sekarang ini, tidak saja bagi umat Islam, tetapi juga umat-umat lainnya.
Langkah-langkah politik yang apa saja yang dilakukaknnya dalam menata masyarakatnya baik di Mekah maupun di Medinah. Tentu saja tidak seluruh kebijakan Nabi di Madinah saat itu harus ditiru sepenuhnya pada masa sekarang. Sebab bagaimanapun, contoh Nabi di Madinah sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu.
Hijrah merupakan momen yang paling menetukan dalam perjalanan karier Nabi Muhammad di masa-masa selanjutnya. Bagi umat Islam, hijrah mengandung arti kelahiran kembali agama bebas dan baru, Islam yang tak lama sesudah itu memulai derap kemajuannya yang tak tertahankan melintasi jazirah Arab dan sebagian besar dunia. Perubahan-perubahan besar yang dialami Nabi dan sahabat-sahaabatnya justru terjadi setelah hijrah. Di Madinahlah Islam mulai menandai era kebangkitan pertamanya.
Hijrah tidak harus selalu diartikan sebagai perpindahan seorang tokoh dari suatu tempat ke tempat lain, sebab pada dasarnya apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. adalah sebuah strategi memindahkan pusat perjuangan (ibukota)nya dari Mekah ke Medinah. Mekah saat itu adalah pusat perdagangan yang sangat ramai dikunjungi oleh para saudagar dari luar Arabia, sedangkan Medinah (saat itu bernama Yatsrib) adalah kota terpencil yang kurang begitu dikenal. Muhammad menganggap bahwa Mekah tidak lagi kondusif bagi usaha dakwah yang dilaksanakannya, karena itu, setelah melalui pertimbangan yang matang dan setelah melakukan percobaan pada beberapa daerah lainnya, seperti Thaif, akhirnya ia memilih Medinah sebagai tempat hijrahnya.
Dalam perjalanannya mengemban wahyu Allah, Nabi memerlukan suatu strategi yang berbeda dengan sebelumnya. Pada waktu di Makkah Nabi lebih menonjolkan dari segi tauhid dan perbaikan akhlak, tetapi ketika di Madinah Nabi banyak berkecimpung dalam pembinaan atau pendidikan masyarakat, karena di Madinah beliau menjadi Nabi sekaligus kepala negara.
Persoalan yang dihadapi oleh Nabi ketika di Madinah jauh lebih komplek dibandingkan ketika di Makkah. Di sini umat Islam sudah  berkembang pesat dan harus berdampingan dengan sesame pemeluk-pemeluk agama lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, pendidikan yang diberikan oleh Nabi juga mencakup urusan-urusan muamalah atau tentang kehidupan bermasyarakat dan politik.
Di Madinah, ada beberapa langkah politis yang spektakuler Nabi dalam rangka meletakkan dasar-dasar syari’at Islam, yaitu :
1. Menjalin ikatan persaudaraan antara orang-orang yang berhijrah dari Mekah (disebut al-Muhajirin) dengan orang-orang yang menolong dari Madinah (Anshar).
Di satu sisi persaudaraan ini dimaksudkan untuk memecahkan masalah para pengungsi dan orang-orang terlantar (Muhajirin), sedangkan di sisi lain untuk mempererat persaudaraan di antara mereka. Nabi menganjurkan agar orang-orang Ansar sudi membagikan harta miliknya untuk mengurangi beban saudaranya Muhajirin dan masing-masing kaum Muhajirin dianjurkan agar mengangkat dan mengambil saudara dari kaum Ansar, dan sebaliknya.
Langkah Nabi ini merupakan strategi yang sangat jitu yang patut diteladani. Nabi menyadari bahwa persoalan pengungsi dan penanganan orang-orang terlantar serta mempersaudarakan di antara penduduk asli dengan “para pendatang” itu adalah masalah yang sangat krusial, karena itu harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum persoalan lainnya.
Dibalik anjuran Nabi saw tentang persaudaraan Muhajirin dan Ansar tersimpan sebuah strategi yang jitu. Beliau mengantisipasi propaganda “provokator”, dalam hal ini kaum Yahudi Madinah yang berniat memporak-porandakan persatuan umat Islam di Madinah khususnya antara kaum Muhajirin dan Ansar, yang memang secara sosial dan suku memilki perbedaan.
Adapun penamaan Muhajirin bagi orang-orang yang berhijrah bersama Nabi, dan Anshar (orang-orang yang menolong dari Madinah) sama sekali bukan berarti dikotomi atau disklasifikasi penduduk berdasarkan asal-usul mereka. Sebab dalam perkembangannya, ketika persaudaraan di antara mereka telah terwujud, penamaan itu telah hilang dengan sendirinya. Terlebih tidak ada satu aturan pun yang dibuat oleh Nabi saw. yang hanya dikhususkan kepada salah satu di antara kedua kelompok tersebut, sehingga di dalam Islam tidak dikenal istilah “warga kelas dua” ataupun “warga kelas satu”.

2. Piagam Madinah
Di bidang politik, pengalaman Nabi dengan orang-orang Yahudi benar-benar pahit, saat kedatangannya di Madinah, Nabi menandatangani sebuah pakta dengan mereka, yaitu piagam Madinah. Di dalam mana mereka diberi otonomi religious dengan syarat mereka ikut serta bersama kaum muslimin dalam mempertahankan Madinah dari serangan musuh. Akan tetapi orang-orang Yahudi mengkhianati kesepakatan tersebut dan bersekutu dengan kafir Quraisy.[11]
Salah satu kebijakan politik yang sering dianggap sebagai ‘kejeniusan Muhammad’ (‘Abqariyyat Muhammad), adalah ketika dia memprakarsai suatu ‘kontrak politik’ antara umat Islam dan kelompok-kelompok sosial lain di Madinah saat itu. Dokumen kontrak ini, dalam sejarah Islam, dikenal sebagai ‘Mitsaq al-Madinah’ atau Perjanjian Madinah, atau Piagam Madinah.
Piagam itu sendiri merupakan dokumen politik yang menjamin kebebasan iman, kebebasan pendapat, perlindungan atas negara, hak hidup, hak milik, dan pelarangan kejahatan. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam piagam itu sesungguhnya dapat dikatakan sangat modern untuk ukuran zaman itu bahkan masih relevan untuk dewasa ini lantaran nilai-nilainya yang bersifat universal.
Agar stabilitas masyarakat dapat terwujud,  Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang. Sebuah piagam hyang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas yang dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan negeri dari serangan luar. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Rasulullah menjadi kepala pemerintahan karena menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang sosial, beliau juga meletakkan dasar persamaan antara sesama manusia. Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan sekarang, sering disebut dengan konstitusi Madinah.[12]
Zubaedi mengatakan konstitusi itu termasuk salah satu bukti yang menunjukkan kapabilitas Muhammad dilihat dari perspektif legislasi, di samping pengetahuannya yang memadai tentang berbagai aspek kehidupan sosial. Penulisan konstitusi dalam waktu yang tidak begitu lama setelah hijrah menunjukkan negara Islam sesungguhnya telah dirancang sebelum hijrah. Lebih jauh ia menjelaskan Dalam konstitusi itu ditemukan kaidah-kaidah umum yang mampu mengakomodasi berbagai hak dan kewajiban para warga. Piagam itu memuat hak-hak golongan minoritas, di antaranya mengakui kebebasan beragama, yakni sebuah kebebasan yang menghormati keanekaragaman agama dan menjamin para pemeluknya untuk menjalankan agamanya. Konstitusi itu juga memandang segala bentuk gangguan dan ancaman terhadap sekelompok orang Islam sebagai ancaman terhadap semua orang Islam dan melarang orang-orang Islam untuk melindungi pembuat kekacauan yang akan menciptakan instabilitas kehidupan sosial. Konstitusi Madinah itu juga mengatur kebebasan berpendapat, perlindungan terhadap hak-hak sipil dan hak hidup, serta memperkenalkan ide nasionalisme dan negara dalam arti luas, toleran, dan humanis. Prinsip itu menjamin persamaan hak dan kewajiban setiap individu, tanpa membedakan ras, bahasa, ataupun kepercayaan.
Tidak mengherankan jika masyarakat Madinah yang dibangun Nabi itu mengundang decak kagum Robert N Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka. Ia menyebut masyarakat Madinah sebagai masyarakat yang sangat modern saat itu, bahkan terlalu modern sehingga setelah Nabi wafat, sistem itu tak bertahan lama.
Legitimasi masyarakat terhadap seorang pemimpin merupakan suatu keniscayaan. Jika tidak, maka dalam menjalankan kepemimpinannya, seorang pemimpin akan terus menerus mendapat rongrongan dari masyarakatnya. Selama sepuluh tahun kehidupan Nabi Muhammad saw. sebagai kepala negara di Madinah, Salah satu kebijakan utama yang diterapkan adalah pemantapan fondasi sosial ekonomi politik warga Madinah. Saat itu, kaum Yahudilah yang menguasai roda perekonomiaan. Orang-orang Yahudi tersebar di berbagai kantong daerah ekonomi di Madinah dan berprofesi sebagai pelaku ekonomi. Bani Qainuqa, misalnya, adalah kelompok Yahudi yang paling terlibat aktif dalam perdagangan di Madinah. Adapun Banu Nadhir dan Quraizha menguasai pertanian kurma yang subur di selatan kota Madinah.
Setting sosial seperti ini tidak mendukung stabilitas politik negara Madinah pada saat itu. Karena itu turunnya perintah mengeluarkan zakat dan sedekah sebagai bagian dari syariat Islam merupakan solusi yang tepat bagi proses pemerataan ekonomi umat Islam. Di samping itu pada periode Madinah ini al-Qur’an melarang secara tegas praktek riba. Larangan riba ini membawa implikasi baik secara ekonomi maupun politik bagi praktek riba kaum Yahudi
Atas dasar itu pula dapat dipahami mengapa kaum Yahudi Madinah lebih memihak kafir Quraisy Mekah dan menghianati piagam Madinah.
Pertama, karena Yahudi Madinah memandang bahwa kehadiran Islam di Madinah dengan serangkaian ajaran moralnya mengancam posisi mereka sebagai elit ekonomi Madinah. Kedua, Yahudi Madinah melihat bahwa kehancuran ekonomi Mekah akan menimbulkan akses bagi perdagangan mereka di Hijaz, khususnya di Thaif, di mana mereka memiliki pusat perdagangan Yahudi yang aktif di sana. Meski Nabi saw sendiri melihat bahwa menghancurkan potensi perdagangan Mekah berarti malah memperkuat jaringan ekonomi Yahudi.
Alasan terakhir ini tampak agak paradoks memang, akan tetapi Nabi Muhammad SAW ternyata lebih beralasan. Setelah kekuatan kaum Quraisy beserta sekutunya telah dipropagandakan pada perang Khandaq (tahun 5 H), mereka bukanlah lagi musuh yang tangguh bagi kaum muslimin. Nabi saw amat menyadari bahwa penaklukan Mekah adalah soal waktu saja. Akan tetapi beliau sendiri sadar betul akan potensi perdagangan Mekah berikut skill warganya dalam berniaga. Sehingga tatkala Muhammad saw. beserta kaum Muslimin memasuki Mekah (Fath Makkah) pada tahun ke 8 H, beliau tak ingin menaklukkannya dengan kekerasan agar dapat memulihkan kembali kota perdagangan yang telah berantakan itu dan memanfaatkan kemampuan warganya.
  
BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Sebagai catatan akhir, penulis perlu menyampaikan beberapa kesimpulan dari uraian di atas. Penerapan ideopolitorstratak sangat penting untuk menjalankan karir politik. Karena berpolitik tanpa didasari pengetahuan tentang taktik dan strategi akan menghasilkan langkah yang tidak efisien bahkan berbahaya. Nabi Muhammad saw menjadi kepala negara di Madinah dengan memperoleh legitimasi kekuasaan politik dari akumulasi beberapa peristiwa politik seperti bai’at Aqabah dan kedudukan beliau sebagai abritrator dalam piagam Madinah. Di samping itu, fakta historis menunjukan bahwa beliau selama sepuluh tahun di kota Madinah berada di posisi puncak kepemimpinan politik negara Madinah, sebagai konsekuensi logis dari kemenangan diplomatis maupun militer.Strategi dan kebijakan pemerintahan yang beliau jalankan di Madinah lebih berorientasi pada pembangunan sosial ekonomi politik. Pembangunan di sektor tersebut berhasil mempersiapkan Madinah sebagai pusat kekuasaan yang meluaskan ekspansi dakwah Islam ke seluruh Jazirah Arab. Bahkan lebih dari itu menjadi embrio bagi lahirnya imperium dan peradaban Islam pada beberapa abad mendatang.
B.     Saran
HMI merupakan kawah candradimuka untuk mengkader calon-calon pemimpin bangsa yang akan menjalankan percaturan politik di negeri ini. Kehidupan politik Indonesia sangatlah penuh tantangan, apabila tidak didasari oleh strategi dan taktik yang matang, maka akan dengan mudah dikalahkan oleh lawan politik. Sedangkan strategi dan taktik yang matang tanpa didasari oleh ideologi ketauhidan akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, sebagai kader HMI harapan umat dan bangsa alangkah lebih baiknya menjadikan strategi politik yang dijalankan oleh Nabi Muhammad sebagai contoh dalam menjalankan karir politik di masa sekarang maupun masa yang akan datang.



[1] Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) hlm.238
[2] Deliar Noer, Islam & Politik (Jakarta : Yayasan Risalah, 2003) hlm. 17
[3] Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1981) hlm. 187
[4] Haidar Nashir, Ideologi Gerakan Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001) hlm. 32
[5] Oxford Dictionary, (New York : Oxford University Press, 2008) hlm. 340
[6] Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) hlm. 330
[7] Munir Che Anam, Muhammad SAW dan Karl Max (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hlm.82
[8] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012) hlm.22
[9] Ibid., hlm. 24
[10] Badri Yatim, Historiography Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 21
[11] Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984) hlm. 28
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 2001) hlm. 26

Comments

  1. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kader-kader yang akan melanjutkan jenjang perkaderan Intermediate Training. YAKIN USAHA SAMPAI

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Judul Buku      : Pergolakan Pemikiran Islam Penulis              : Ahmad Wahib Editor               : Djohan Effendi, Ismed Natsir Penerbit           : Pustaka LP3ES Cetakan I          : 1981 Tebal                : 353 halaman (Halaman 1-101)             Buku kecil berwarna hijau yang bergambar kepalan tangan ini memang sangat fenomenal di kalangan anak muda yang tengah mengalami pencarian jati diri serta kebenaran akan agama Islam. Ahmad Wahib adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam yang telah menyumbangkan banyak pemikirannya tentang Islam maupun tentang HMI. Sayang sekali, kecelakaan telah merenggut nyawanya ketika ia hendak ...